contoh Aplikasi Penafsiran Bintu Syathi’
Berikut beberapa contoh
pembahasan dan aplikasi dalam metode tafsir Bintu Syathi’:
1. Waw Qasam (Sumpah)
Mengenai sumpah-sumpah yang terdapat di dalam al-Qur’an yang diawali
dengan waw al-Qasam – Bintu Syathi’ menolak pendapat bahwa
semua itu – seperti kebanyakan kitab tafsir – menandakan pemuliaan obyek
sumpah. Bintu Syathi’ meyakini bahwa sumpah Qur’ani adalah hanya salah satu
alat retoris yang digunakan untuk menarik perhatian terhadap suatu hal lewat
fenomena nyata untuk memperkenalkan hal-hal lain yang tak terjangkau oleh akal.
Oleh karena itu pilihan objek sumpah dalam al-Qur’an sesuai dengan situasi dan
kondisi. Bintu al-Syathi’ memberikan gambaran dari berbagai surah-surah yang
dipilihnya sebagai objek seperti ketika Allah bersumpah demi waktu pada
surah al-‘Asr, duha, demi siang, demi waktu
malam, dan lain sebagainya. Ia menjelaskan bahwa waktu pagi dan siang
adalah merepresentasikan makna petunjuk (hidayah) dan kebenaran (al-Haq).
Sedangkan malam merepresentasikan makna kesalahan dan dusta.
2. Huruf Muqatta’ah
Tema ini telah menjadi perdebatan panjang sepanjang masa di kalangan ulama
tafsir. Pokok permasalahannya adalah perbedaan dalam intepretasi ayat Allah
yang berbunyi;
..... وما يعلم تأويله إلا
الله والراسخون فى العلم يقولون أمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا
أولو الألباب[1]
Mereka memperdebatkan
tentang huruf waw dalam ayat tersebut apakah merupakan
huruf ‘athaf (kata penghubung) dengan pengertian;
“dan tidak ada yang
mengetahui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) kecuali Allah dan para pakar ilmunya”
atau huruf isti’naf
atau ibtida’ (huruf pembuka pembicaraan baru) dengan pengertian;
“Padahal tidak ada yang
mengetahui ta’wilnya (ayat mutasyabihat) kecuali hanya Allah. Dan pakar ilmu
tersebut berkata”
Dari sinilah muncul 2 kelompok yang berbeda tentang keabsahan
menintepretasi ayat-ayat mutasyâbihât. Syeikh Fairuz Abadi dalam
kitab tafsirnya Tanwîrul Miqbâs Min Tafsîri Ibni Abbâs mencoba
memberikan pentakwilan terhadap huruf-huruf muqatta’ah yang berada
di awal beberapa surat. Setiap penggalan dari huruf tersebut memiliki
pengertiannya masing-masing yang masih berhubungan dengan tema pembahasan dalam
surat tersebut. Sedangkan ulama-ulama salaf semisal Ibnu Abbas, Mujahid,
Sya’bi, Ibnu Qayyim Jauziyyah lebih memilih untuk mengembalikan seluruh
pemaknaan kepada Allah (ista’tsarallahu bi ‘ilmihi). Syeikh Sya’bi
ketika ditanya tentang pengertian huruf muqatta’ah, beliau menjawab; “setiap
kitab memilki rahasianya masing-masing, rahasia dari Al Qur’an ini adalah huruf
muqatta’ah yang terdapat pada pembuka beberapa surat”[2]
Mengenai huruf muqatta'ah ini, para sarjana barat
menggambarkannya sebagai huruf-huruf misterius, meskipun banyak diantara mereka
yang berusaha untuk meraba-raba makna yang terkandung. Mereka memandang
huruf-huruf tersebut sebagau singkatan dari nama-nama para pengumpul Al Qur’an
sebelum Zayd bin Tsabit. Kelompok surat yang diawali dengan “Ha-Mim”
diduga berasal dari orang-orang yang singkatan namanya menjadi “Ha-Mim”.
Hirschfeld, misalnya mencoba memandang huruf “Sad” sebagai kependekan dari nama
Hafsah, "Kaf" sebagai Abu Bakr dan "Mim" sebagai 'Uthman,
sedang "Alif-Lam-Mim" kependekan dari nama al-Mughirah. Sedang
Eduard Gussens menduga bahwa huruf-huruf tersebut merupakan judul dari surat-surat
yang tidak digunakan. Meski demikian pada akhirnya tetaplah huruf-huruf
tersebut menjadi misteri. Tidak ada argumen yang cukup valid dari mereka untuk
mendukung hipotesa ini.[3]
Ibnu Qayyim Jauziyyah menyebutkan bahwa pemilihan huruf muqatta’ah pada
awal beberapa surat tersebut lebih merupakan simbol dari keutamaannya.
Huruf tersebut merupakan pondasi utama dari pesan-pesan yang disampaikan Allah
dalam surat.[4]
Dalam terma pembahasan ini, Bintu Syati lebih setuju dengan pandangan yang
disampaikan Ibnu Qayyim. Bahwa huruf muqatta’ah merupakan
bagian dari i’jaz bayani Al Qur’an. Ketika Allah melayangkan
surat tantangan kepada kaum musyrikin untuk mendatangkan satu surat semisal
dengan Al Qur’an, namun mereka tidak sanggup. Padahal Al Qur’an diturunkan
dengan bahasa mereka. Allah SWT. berfirman;
وان كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهدائكم إن
كنتم صادقين[5]
Sebagaimana kaum
musyrikin zaman dahulu menganggap bahwa Al Qur’an merupakan dongeng belaka,
sehingga mereka cenderung memilih untuk tidak mendengarkan segala perkataan Al
Qur’an, maka dengan munculnya huruf muqatta’ah ini merupakan upaya untuk
menarik perhatian mereka untuk lebih jauh mengetahui tentang Al Qur’an.
Bintu Syathi' menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Fawatih dimulai
surah al-Qalam yang menunjukkan rahasia huruf. Kemudian bertambah banyak dan
datang beruntun pada pertengahan periode Makkiah-dari surah Qaf yang menempati
urutan ke-34 hingga surah al-Qashash yang menempati urutan ke-49.
2. Setiap surah dalam
al-Quran yang dimulai dengan huruf muqatta’ah, mengandung
pembuktian kebenaran al-Quran, penegasan al-Quran adalah Firman Allah dan
jawaban atas yang menentangnya. Selain itu, terdapat penyerupaan dengan kaum
terdahulu yang menentangnya, baik dari sikapnya ataupun akhir dari nasib penentangya.
3. Kebanyakan surah
yang diawali dengan muqatta’ah diturunkan ketika serangan
orang-orang musyrik mencapai puncaknya.[6]
Kesimpulannya, Fawatih dengan muqatta’ah adalah
bagian ijaz al-Quran karena dengan ijaz al-Quran tersebut,
yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah sudah bisa membungkam para
kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman Allah. Sebuah huruf yang
mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang diyakini para ulama
adalah Fawatih dengan muqatta’ah mengandung nama Allah
maha Agung.
2. Anti Sinonimitas
Salah satu temuan penting Bintu Syathi’ dalam tafsirnya yaitu tentang
sinonim kata-kata yang memiliki pengertian serupa dalam Al Qur’an. Dalam hal
ini beliau lebih cenderung untuk menolak adanya sinonimitas. Segala yang
disampaikan di dalam Al Qur’an memiliki maksud dan tujuannya masing-masing.
Allah SWT. Berfirman;
Dalam kitab tafsirnya,
at Tafsir al Bayani Lil Qur’anil Karim, disebutkan dengan pendekatan
metode istiqra’ tentang penggunaan beberapa kata yang
mempunyai arti kata yang sama namun berbeda dalam pengertiannya.
a) Kata khalafa dan aqsama[8]
Kata khalafa
|
Kata aqsama
|
Wa yahlifuna billahi
Innahum laminkum wama hum minkum (QS. Taubah; 34)
|
La uqsimu bi yaumil
qiyamah (QS. Qiyamah;1)
|
Wa yahlifuna ‘alal
kadzibi (QS. Mujadalah; 14)
|
Fala Uqsimu bima
tubsirun (QS. Al Haaqah;34)
|
Wa la tuti’ kulla
hallafin mahin
|
Fala Uqsimu bil
Hunnas (QS. At Takwir;
|
Dari sini beliau
berkesimpulan bahwa kata aqsama digunakan untuk jenis sumpah
sejati yang tidak pernah untuk dilanggar. Terlihat rata-rata Fa’il dari kata
ini lebih banyak kembali kepada Allah. Sedangkan kata khalafa digunakan
untuk sumpah yang ada potensi untuk dilanggar, terlihat rata-rata Fa’il
dari kata ini lebih banyak kembali kepada selain Allah.
|
|
b). Kata na’y dan bu’d.
Kata na’y merujuk kepada jarak yang kaitannya dengan
permusuhan dan suasana. Sedangkan bu’d lebih kepada jarak dalam konotasi waktu
dan tempat.
c). Kata hilm dan ru’ya.
Kata hilm merujuk kepada mimpi yang tidak jelas tentang kebenarannya. Sedangkan
ru’ya lebih kepada hal yang telah pasti dan jelas.
Pernyataan yang serupa
juga disampaikan beberapa ulama adab diantaranya Ibnu Jinni
dan Ibnu Faris.
3. kata Kabad dalam Q.S. Al- Balad: 4
ôs)s9 $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# Îû >t6x. ÇÍÈ
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan
manusia berada dalam susah payah”.
Kata kabad yang dalam terjemahannya diartikan dengan
“kesusahan”, merupakan sebuah kata pada Al-Qur’an yang membutuhkan pembahasan
panjang, dan memunculkan pandangan yang bersifat teologis. Dan menurut Bintu
Syathi’ dalam menafsirkan kata ini, apabila kita melihat kepada latar belakang
keadaannya. Kata tersebut mengacu pada kualitas alamiah manusia untuk memikul
tanggung jawab dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Inilah yang
kemudian diungkapkan oleh Bintu Syathi; sebagai kabadnya, bebannya,
penderitaannya jika ia memang memilihnya. Selain itu juga, Bintu Syathi’
memperkuat argumennya dengan mengajukan sebuah ayat yang berkaitan dengan hal
itu, yaitu Q.S. Al-Balad : 8-10.
óOs9r& @yèøgwU ¼ã&©! Èû÷üuZøtã ÇÑÈ $ZR$|¡Ï9ur Éú÷ütGxÿx©ur ÇÒÈ çm»oY÷yydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ
“Bukankah kami Telah memberikan kepadanya dua buah
mata, lidah dan dua buah bibir. Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua
jalan”.
Bintu Syathi’
menyatakan bahwa dua jalan itu adalah al-najdayn adalah jalan
yang menuju kepada kebaikan dan jalan menuju kepada kejahatan yang telah di
pisahkan secara tegas sehingga manusia dapat memilih satu dari kedua jalan ini.
Dan ketika manusia memilih salah satu dari dua jalan itu, maka dia harus
bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
4. Israiliyyat
Terma ini merupakan problem tersendiri di kalangan beberapa ulama tafsir.
Banyak dari mereka yang terjebak menyantumkan argumen-argumen penguat analisa
tafsir yang referensinya masih dipertanyakan. Diantaranya israiliyyat (kabar
tentang zaman pra-Islam yang disampaikan oleh para ahli kitab). Seiring dengan
tuntutan dari umat untuk lebih mengetahui detil peristiwa dalam Al Qur’an.
Dalam usahanya untuk menyingkirkan unsur unsur luar dan asing dalam
pemahaman atas Al Qur’an, dalam tafsirnya, Bintu Syathi’ menolak untuk terlibat
dalam pembahasan-pembahasan mendetil mengenai materi-materi yang berhubungan
dengan kitab Injil, Taurat, dan rekaman-rekaman Arab serta non Arab yang
bersifat mistis atau historis, jika didalam Al Qur’an terdapat rujukan kepada
materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut. Ia menyatakan bahwa, jika Al
Qur’an memang bermaksud mengungkap sejarah dalam detilnya, kitab suci ini pasti
telah melakukannya. Namun Al Qur’an menggunakan materi-materi semacam itu dalam
bentuk sebuah ringkasan biasa, yang berarti bahwa apa yang diinginkan untuk
diperhatikan adalah teladan-teladan moral yang harus ditelaah dan
pelajaran-pelajaran spiritual yang harus diturunkan darinya.[9]
PENUTUP
Kesimpulan
Bintu Syathi’ adalah seorang mufassir wanita asal Mesir. Lahir dari
pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasyir pada tanggal
06 November 1913 di Dunyat (Damietta), wafat Pada awal bulan Desember 1998, di
usia 85 tahun karena serangan jantung. Dia meninggalkan beberapa karya tulis
sehingga dianggap sebagai penulis yang produktif. Bintu Syathi’ merupakan salah
satu mufassir kontemporer yang sangat terkenal. Aliran tafsirnya adalah
pendekatan bahasa, sastra tematik.
Metode yang digunakan adalah: mengumpulkan semua surah dan ayat mengenai
topik yang ingin dipelajari. kemudian disusun sesuai dengan kronologi
pewahyuannya sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempatnya (asbab
al-nuzul) dapat diketahui. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas
kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya, (al-’ibrah
bi ‘umum al-lafz la bikhusus al-sabab). Untuk memahami petunjuk lafaz,
harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi
lafaz-lafaz yang digunakan secara berbeda, kemudian disimpulkan petunjuknya
dengan meneliti segala bentuk lafaz yang ada di dalamnya, dengan menggunakan
“analisa bahasa” (semantik). Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit,
seorang mufasir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqasid
asy-syari’), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat yang sejalan dengan
maksud teks yang bisa diterima.
Menurutnya, asbab al-nuzul tidak lebih dari
Kejadian-kejadian di seputar teks, atau kondisi-kondisi eksternal dari
pewahyuan. dan bahwa kata-kata didalam bahasa arab Al-Qur’an tidak ada sinonim.
Satu kata hanya mempunyai satu makna. Sehingga apabila ada yang mencoba untuk
menggantikan kata dari Al-Qur’an. maka al-qur’an bisa kehilangan
efektifitasnya, ketepatan, keindahan dan esensinya.
Kelebihan dari metode ini adalah: tampak jelas kehati-hatian yang sengaja
dipatok agar dapat membiarkan al-qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri, dan
agar kitab suci itu dipahami dengan cara-cara yang paling langsung sebagaimana
orang-orang arab pada masa kehidupan Nabi Muhammad, Yang mana rujukan-rujukan
Al-qur’an itu hanya dijadikan sebagai data-data sejarah. Dengan demikian,
tekanan diletakan pada apa yang menjadi maksud Tuhan dengan sebuah pewahyuan,
yang melampaui dan berada diatas peristiwa sejarah tertentu yang menjadi latar
belakangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zayd, Nasr Hamid. Tekstualitas
Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdhiyin Yogyakarta: LKiS. 2001
al-Shabuni, Ali’ Rawa’I
al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, juz I. Beirut: ‘Ali al-Kutub,
1987
Al-Suyuthi, Dur
al-Mansur. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1313 H
Syathi’ A’isyah Bintu.
al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1990
syathi’, A’isyah Bintu.
Tafsir Bintu syathi’, terj. Muzakir. Bandung: Mizan, 1996
Amin, Muhammad. A
Study of Bintuh al-Shati Exegesis. Kanada: Tesis Mcgill, 1992
Hanafi, Hassan. Al-Turats
wa al-Tajdid: Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Kairo: Al-Markaz
al-‘Arabi, 1980
J. Boullata. Issa., “Tafsir
al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bintu syathi’”, dalam Jurnal Al-Hikmah.
no. 3, oktober 1991
Rahman, Fazlur. Tema-tema
Pokok al-Qur’an terj. Anas Mahyudin Bandung: Pustaka, 1996
Shihab, M. Quraisy.
dkk. Sejarah dan Ulum al-Qur’an ed. Azyumardi Azra Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000
Shihab, Quraish. Membumikan
al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997
Yusron. Muhammad dkk. studi kitab tafsir kontemporer (Yogyakarta:
teras) 2006.
[1]
Surat Al
Baqarah: 7
[2]
Aisyah
Abdurrahman, At Tafsir al Bayani.., h. 42
[3]
Ayat
Mutasyabihat dan Kritik Terhadap Peringkatnya, 17 april 2008,www.pesantren.or.id, Lihat W.
Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur'an, terj. Lilian D.
Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), h. 55-56.
[4]
Aisyah
Abdurrahman, At Tafsir al Bayani.., h. 10
[5]
Surat Al
Baqarah: 23
[6]
Aisyah Abdurrahman, “Fawatih
al-Suwar…, h. 293-294
[7]
Surat Al An’am
: 37
[8]
Aisyah
Abdurrahman, At Tafsir al Bayani.., h. 165-167
[9] Yudhie R.
Haryono & May Rachmawatie, Al Qur’an Buku Yang Menyesatkan dan Buku Yang
Mencerahkan, Gugus Press, 2002, h. 394
0 Response to "Contoh Aplikasi Penafsiran Bintu Syathi’"
Post a Comment