ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 2 (makalah lengkap)

ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN
Bag. 2
  makalah ini membahas tentang islam dalam konsep fazlur rahman, pada bagian kedua ini membahas tentang pokok pemikiran fazlur rahman, tentang wujud tuhan, kedudukan akal dan fungsi wahyu, takdir dan hukum alam.
A.  Pokok-pokok pemikiran Fazlur Rahman
1.    Wujud Tuhan
Fazlur Rahman dalam menerangkan gagasan tentang Tuhan dan alam semesta senantiasa mengacu pada Alquran sebagai sumber otoritas primer dan senantiasa aktual dan kontekstual dalam setiap masa dan keadaan dimana manusia berada.[1]
 Menurut Fazlur Rahman, semua pernyataan Alquran tentang alam ataupun Tuhan sekalipun pada dasarnya menyatakan tentang keberadaan manusia. Hal ini ditunjukkan Alquran yang dengan tegas menolak untuk menyinggung masalah kekuasaan Ilahi dengan mengutip beberapa ayat Alquran yang menyatakan bahwa,  Tuhan Maha Kuasa sebagai Pencipta alam semesta, dan manusia diberi pilihan dan diserahi tanggung jawab. Salah satu fungsi gagasan tentang Tuhan adalah menjelaskan keteraturan alam semesta sekaligus bahwa konsep Tuhan merupakan bagian dari logika yang inheren yang harus ada, dengan memberi pernyataan bahwa Tuhan bukan saja transenden tetapi juga imanen. Hal ini dibuktikan oleh ayat-ayat Alquran tentang hubungan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan.[2]
Dalam pandangan Fazlur Rahman, Tuhan itu memang dekat, namun bisa juga dipandang sangat jauh. Lebih lanjut katanya bahwa yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang panjang lebar tentang eksistensi Tuhan, tetapai bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga.[3]
 Mengutip pendapat Ibn Sina, perbedaan antara Allah sebagai Penvipta dengan makhluk sebagai ciptaanNya menurut Rahman adalah jika Allah ‘tak terhingga dan mutlak’  maka segala ciptaanNya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memang memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi potensi-potensi  tersebut tidak dapat melampau keterhinggaannya dan menjadi ‘tak terhingga’.[4]
2.    Kenabian dan Wahyu
Fazlur Rahman mengemukakan tentang perbandingan antara pandangan kaum filosof dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu. Pembahasannya dimulai tentang konsep akal manusia menurut Ibn Sina (w. 1037 M).[5] Dalam pandangan Ibn Sina, akal aktual manusia lebih merupakan cermin yang di dalamnya tiap-tiap bentuk sesuatu dan sebagai emanasi dari Akal Aktif (Active Intelligence) ditanamkan atau direfleksikan, dan kemudian diambil ketika manusia mengalihkan perhatian kepada sesuatu yang lain. Pada manusia biasa, cermin itu tertutup akibat berhubungan dengan badan, atau penglihatannya berpenyakit. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan proses-proses yang bersifat perenungan dan sensitif yang akan menjadikan cermin itu bersih, atau diperlukan pengobatan terhadap penglihatan tersebut.
Dalam perspektif Ibn Sina, manusia dapat berhubungan dengan Akal Aktif ketika manusia telah mencapai akal aktual (actual intellect), dan selanjutnya melalui latihan-latihan akan dapat mencapai akal mustafad (acquirred intellect). Dalam taraf ini, manusia sudah tidak dapat diatur lagi oleh orang lain dalam hal apapun. Bahkan, ia benar-benar telah memperoleh semua pengetahu an dan makrifat, serta tidak memerlukan orang lain untuk mengatur dirinya dalam segala hal.
Ibnu Sina, memasukkan kemampuan akal sebagai salah satu daya dalam jiwa teoritis manusia yang memilki empat tingkat: 1) material intellect, yaitu potensi akal untuk berpikir dan belum dilatih, 2) intelctual in habitat, yaitu akal yang mulai dilatih untuk berpkir abstrak, 3) actual intelect, yaitu kemampuan berpikir abstrak, dan 4) acquired intelect, yaitu kesanggupan akal berpikir manusia untuk berpikir abstrakdan sarana yang mamapu menerima limpahan dari akal aktif.[6]
Wahyu datang pada orang yang telah mencapai tingkat ini. Namun dalam masalah kenabian, proses-proses itu tidak diperlukan lagi karena seorang Nabi dari sifatnya adalah murni; dan karena itu ia secara langsung dapat berhubungan dengan Akal Aktif.[7] Pembahasan doktrin intelek dalam kenabian menurut pandangan kaum filosof, dengan mengangkat al-Farabi (w. 956 M) dan Ibn Sina, merupakan pembahasan bagian pertama dan kedua buku Propechy in Islam Philosophy and Ortodoxy.[8]
Pada bagian ketiga, Fazlur Rahman mengangkat masalah kenabian dari perspektif ortodoksi yang dikemukakan oleh ahli ilmu kalam. Ada tiga aliran utama dalam teologi skolastik mengenai kenabian.
a.    Mutakallimun dogmatik yang memperbolehkan penggunaan akal secara terbatas untuk menjelaskan dan mendukung dogma. Aliran ini diwakili oleh al-Syahrastani dan merupakan aliran ortodoksi terbesar.
b.    Aliran yang berbentuk dogmatisme akat yang mengabaikan akal dan hanya menggunakannya untuk menyerang posisi-posisi kaum rasionalis, yang diwakili oleh Ibn Hazm.[9]
c.    Pandangan yang berdiri di antara dua aliran yang menerima penggunaan akal, namun menolak kaum filosof dan pemikirannya secara total, Serta menolak sufisme tetapi menekankan nilai-nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran terakhir ini direpresentasikan oleh lbn Taimiyah.[10]
Tipologi ketiga aliran pemikiran itu sepakat menolak pendekatan intelektualitas murni para filosof terhadap fenomena kenabian, dan tidak keberatan untuk menerima kesempurnaan intelektual Nabi. Meskipun demikian, mereka lebih menekankan nilai-nilai syari'ah daripada nilai-nilai intelektual.
Fazlur Rahman kemudian menjelaskan beberapa tokoh Muslim terkenal dan dianggap kelompok ortodoks yang menerima esensi doktrin filosofis tentang kenabian dan memasukkannnya ke dalam Islam secara integral. Di antaranya adalah al-Ghazali yang dikenal sebagai tokoh sufi, dan Ibn Khaldun, yang dikenal sebagai seorang ahli sosiologi Islam dalam sejarah. Manurut Fazlur Rahman, Wahyu adalah kalam Allah, dengan demikian Alquran merupakan kalam Allah. Kalam Allah peng-ertiannya sangat abstrak, untuk itu perlu dijelaskan terlebih dahulu pemikiran Fazlur Rahman tentang hubungan kalam Allah dengan Alquran atau wahyu itu sendiri.[11]
Rahman membedakan pengertian antara bacaan (qira’ah), yang dibaca (maqru’), dan Alquran. Bacaan adalah perbuatan yang bersifat inderawi yang dilakukan pembaca dalam waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu, bacaan adalah baru. Sedang “yang dibaca” adalah kalam Allah yang qadim yang terdapat pada zat-Nya. Apa yang dibaca adalah searti dengan Alquran.  “Apa yang dibaca” dalam pandangan al-Ghazali adalah sesuatu yang terdapat di balik bacaan, bukan mushaf itu sendiri.
Untuk menghindari kontroversi adanya kalam Allah yang qadim dengan Alquran yang terdapat dalam mushhaf, al-Ghazali menyatakan bahwa sesuatu yang ditunjukkan (madlul) bukan bukti (dalil) itu sendiri. Kalam Allah adalah madlul, sedangkan huruf-huruf yang ada dalam mushhaf adalah dalilnya. Berdasarkan penjelasan itu, ia menyimpulkan bahwa “apa” yang ditulis di mushhaf, dipelihara di hati dan dibaca melalui bacaan adalah Kalam Allah. Artinya, Kalam Allah adalah “sesuatu” yang ditulis, dibaca, dan dihafal; dan bukan tulisan, bacaan dan hafalan itu sendiri. Meskipun sesuatu yang dibaca, yang ditulis, dan yang dihafal berbeda dengan bacaan, tulisan dan hafalan itu sendiri, tiga unsur yang pertama tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan tiga yang terakhir.
Fazlur Rahman meletakkan pandangan al-Ghazali itu dalam rumusan  bahwa “Alquran keseluruhannya adalah Kalam Allah sejauh ia sempurna dan bebas dari kesalahan, namun sepanjang ia turun ke dalam hati Nabi dan kemudian berada pada ucapan, maka ia keseluruhannya adalah kata-katanya.”  
Namun tesis al-Ghazali itu belum menjelaskan secara tuntas bagaimana wahyu sebagai kalam al-nafs dan berbentuk lafaz-lafaz sebagaimana terdapat dalam mushhaf .Pada sisi ini Fazlur Rahman memberikan jalan keluar mengenai hubungan itu. Ia membeda-kan meskipun tidak dapat dipisahkan antara apa yang dibacakan Nabi Saw dan wahyu yang bersifat transendental. Lafaz-lafaz Alquran yang dibaca Nabi merupakan representasi yang akurat dari fi’il kreatif yang berasal dari wahyu ilahi. Kata itu harus direpresentasikan karena penurunannya semata-mata untuk membimbing manusia, makhluk yang dalam kehidupannya tidak melepaskan diri dari bahasa dan ungkapan.
Melalui pemahaman semacam itu Fazlur Rahman menerima, bahkan menyakini Alquran sebagai Kalam Allah yang diwahyukan secara verbal kepada Nabi dan bukan hanya pewahyuan dalam makna atau ide-idenya saja. Namun ia menolak pandangan mengenai pewahyuan yang mekanis dan eksternal sebagaimana pandangan kalangan ortodoks, sehingga penyampaiannya terkesan seakan-akan Jibril datang dan menyerahkan risalah Tuhan kepada Nabi Muhammad, seperti seorang tukang pos yang  menyerahkan surat.Penyampaian semacam ini tidak dapat diterima Fazlur Rahman karena dalam proses semacam itu sulit untuk menghubungkan antara yang transendental dan Ilahi pada satu pihak, dan Nabi sebagai mausia pada pihak lain.
Bagi Fazlur Rahman, Jibril sebagai penyampai wahyu adalah Spirit (Ruh). Pandangannya itu didasarkan bahwa Ruh al-Qudus menurunkan Alquran kepada Nabi; dan juga kepada ayat-ayat lain yang senada dengan itu.[12] Menurutnya, Ruh Suci itu adalah bagian dari para malaikat, bukan berarti Ruh Suci itu berbeda secara keseluruhan dari malaikat. Kemungkinan besar Ruh itu adalah malaikat yang paling mulia dan paling dekat kepada Allah. Untuk sampai kepada kesimpulan itu, Rahman merujuk firman Allah yang menyatakan:“Ia menurunkan para malaikat dengan Ruh dari perintah-Nya kepada siapa saja Ia kehendaki dari hamba-hambanya.”[13]
Secara prinsip, Ruh tersebut adalah kekuatan, kemampuan, atau agen yang berkembang di hati Nabi Muhammad saw, yang awalnya turun dari ‘atas’, dan ketika diperlukan berubah menjadi operasi wahyu yang aktual. Dalam pandangannya, konsep tersebut adalah sangat sesuai dengan anggapan atau tradisi Islam yang sudah umum yang menyatakan bahwa keseluruhan Alquran pada mulanya diturunkan ke langit yang paling bawah, dan setelah itu ayat-ayat verbal yang relevan muncul ketika dibutuhkan. Berdasarkan paparan di atas, Fazlur Rahman berargumentasi bahwa Alquran benar-benar bersifat ilahi yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, sebagaimana hal telah menjadi kenyakinan kalangan ortodoks.
Sejalan dengan hal di atas, maka pengutusan para rasul atau nabi dalam perpektif pemikiran Fazlur Rahman merupakan puncak dari kekasih sayang Allah pada satu sisi, dan ketidak-kedewasaan manusia dalam persepsi dan motoivasi etisnya pada sisi lain. Ada kaitan yang erat antara pengutus rasul atau nabi dan kasih sayang Allah disatu pihak, dan kelemahahan manusia di lain pihak. Dengan bahasa lain, manusia memiliki kemampuan terbatas. Karena itu, manusia membutuhkan bimbingan dan peringatan agar tidak menyimpang dari jalan kebenaran. Sebagai implikasi logisnya, Allah Yang Maha Pengasih akan mengutus para rasul atau nabi untuk mengingatkan, membimbing dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar.
Berdasarkan kajiannya, Fazlur Rahman mengemukakan bahwa antara filosof dan teolog sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar mengenai konsep kenabian dan wahyu. Bagi filosof, Nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Akal Aktif. Sedangkan menurut para teolog, para nabi mempunyai dua sisi; kemanusiaan dan kenabian. Dalam sisi kemanusiaan, para nabi adalah sama dengan jenis manusia-manusia lain. Sedangkan dalam sisi kenabian, para nabi mempunyai sifat-sifat sejenismalaikat, selalu mengagungkan Tuhan dan menyucikan transendensi-Nya.
3.    Kedudukan Akal dan dan Fungsi Wahyu
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia. Ketinggian, keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia mempunyai kebudayaan yang tinggi, mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengatur dan mengubah alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik di masa kini maupun di masa depan. Begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari kedudukannya dalam ajaran Islam.
Menurut Fazlur Rahman, Alquran menggambarkan ketaatan dan penyerahan mutlak seluruh bagian objek natural kepada hukum-hukum alam sebagai ibadah mereka kepada Tuhan. Alam semesta diciptakan menurut hukum-hukum dan terus menjalankan pola-pola teratur. Sedangkan manusia ditantang untuk menemukan hukum-hukum ini dan menempatkan pola-pola tersebut sehingga ia bisa menaklukkan alam serta memanfaatkannya. Sesungguhnya, inilah yang dinamakan amanah yang harus dilaksanakan sebagai pengabdian bagi manusia. Amanah ini dimaksudkan agar manusia dapat menemukan hukum-hukum alam serta menguasainya dan kemudian menggunakan penguasaan hukum alam tersebut di bawah inisiatif moral manusia untuk menciptakan suatu tata dunia yang baik.[14] Dari ungkapannya ini dapat dikatakan bahwa Rahman memberi kedudukan yang tinggi pada akal, yaitu untuk memperkuat kebenaran wahyu dan hukum alam, karena bila akal lemah maka ia tidak akan mampu menemukan hukum-hukum alam.
4.    Takdir atau Hukum Alam
Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan keteraturan alam semesta. Menurut FazlurRahman, ajaran fundamental Alquran tentang alam semesta adalah:
a.    bahwa ia merupakan sebuah kosmos, sebuah tatanan,
b.    bahwa ia merupakan suatu tatanan yang berkembang, yang dinamis;
c.    bahwa ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi secara serius; manusia harus mempelajari hukum-hukumnya yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan men-jadikannya sebagai panggung dari aktivitas manusia yang punya tujuan.[15]
Sebagai sebuah kosmos, alam memiliki hukum-hukum dan logikanya sendiri. Menurut Alquran, ketika Tuhan menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberinya bentuk lahiriah, pada saat yang sama Tuhan juga melengkapinya dengan hukum-hukum kehidupannya dan menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika perkembangannya. Pertama, (yaitu menghidupkan sesuatu dan memberi bentuk) diistilahkan dengan Khalq. Sedangkan yang kedua, (yaitu melengkapi sesuatu dengan suatu sifat atau dinamika perilakunya) didefinisikan oleh Alquran dengan istilah amr atau taqdir. Dari sinilah muncul konsep Fazlu Rahman tentang takdir atau hukum alam.[16]
Pengertian taqdir secara harfiah berarti ‘ukuran sesuatu’, dan qadar adalah jumlah atau volume yang terukur. Fazlur Rahman menolak gagasan takdir yang sering dipahami sebagai peristiwa atau kejadian. Penolakan ini secara tegas diungkapkannya dalam pernyataan berikut: “Ada dua hal yang berkaitan muncul di sini:
Pertama, kejadian-kejadian di dunia ini tidak pernah dipredeterminasi atau ditetapkan terlebih dahulu oleh Tuhan. Bahwa kejadian “A” akan timbul pada waktu ‘A’ masih tetap merupakan kemungkinan terbuka di antara alternatif-alternatif lainnya yang mungkin, hingga ia ditimbulkan secara aktual.
Kedua, hal ini disebabkan karena apa yang dideterminasi bukanlah kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas, tetapi potensi-potensi, kekuasaan-kekuasaan dan kekuatan-kekuatan. Jadi, ditetapkannya bahwa oksigen memiliki suatu potensi yang dengannya, bila dicampurkan dengan hidrogen dalam proporsi dan di bawah kondisi tertentu, akan menghasilkan air. Apa yang dideterminasi di sini adalah potensi-potensi dari oksigen dan hidrogen untuk berubah menjadi air jika dicampurkan di bawah kondisi tertentu. Sedangkan kejadian aktual dari pencampuran keduanya pada suatu ruang dan waktu tertentu tidaklah pernah dideterminasi sebelumnya.
Berdasarkan pengertian takdir yang dikemukakan Rahman, dapat dipahami bahwa takdir bukanlah sebuah kekuatan buta yang mengukur atau menetapkan hal-hal yang tidak dapat dielakkan atau dikendalikan oleh manusia, terutama sekali sehubungan dengan kelahiran, rezeki, dan maut. Konsep takdir yang dikemukakan Rahman menekankan bahwa Allah memberikan ukuran dan sifat tertentu kepada setiap sesuatu untuk menjamin keteraturan alam. Di samping itu, untuk menunjukkan perbedaan terpenting yang tidak dapat dihilangkan di antara Allah dan manusia.
Menurut Fazlur Rahman, perbedaan terpenting di antara Allah dengan ciptaan-Nya adalah: “Jika Allah ‘tak terhingga’ dan Mutlak, maka setiap sesuatu yang diciptakan-Nya adalah ‘terhingga’. Setiap sesuatu memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi betapapun banyaknya potensi-potensi tersebut tidak dapat membuat yang terhingga melampaui keterhinggaannya dan menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksudkan Alquran ketika ia mengatakan bahwa setiap sesuatu selain dari Allah mempunyai ukurannya (qadar, taqdir, dan sebagainya), dan karena itu tergantung kepada Allah. Apabila sesuatu makhluk menyatakan dirinya dapat berdiri sendiri atau merdeka, berarti dia mengakui memiliki sifat ketidakterhinggaan dan sifat ketuhanan. Bila Allah menciptakan sesuatu, maka kepadanya Dia memberikan kekuatan atau hukum tingkah laku yang di dalam Alquran dikatakan petunjuk, perintah atau ukuran. Dengan hokum tingkah laku inilh ciptaan-Nya itu dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta.[17]
Bila dihubungkan dengan konsep takdir seperti yang disinggung terdahulu, maka dalam pandangan Rahman, takdir atas manusia berarti Allah telah menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang bersifat potensial bagi manusia yang dengan potensi itu manusia dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang menimpa manusia atau sering disebut nasib, sebetulnya mempunyai sebab-sebab tertentu yang alamiah dan bukan sebagai determinasi Allah atas manusia. Jadi, keberuntungan ataupun kemalangan yang menimpa manusia di dunia ini tidak lain adalah merupakan akumulasi dari berbagai sebab. Jika manusia melakukan serangkaian usaha yang mengarah kepada tercapainya nasib baik, maka ia akan memeroleh hasilnya, demikian pula sebaliknya.
Berkaitan dengan konsep takdir deterministik seperti yang banyak berkembang di kalangan umat Islam, Rahman menyatakan sebagai berikut: ”Tidak dapat diragukan lagi bahwa di akhir zaman pertengahan di dalam masyarakat muslim berkembang sebuah predeterminisme yang kuat pengaruhnya. Predeterminisme ini tidak bersumber dari ajaran-ajaran Alquran, tetapi bersumber dari faktor-faktor lain yang banyak sekali jumlahnya. Yang paling menonjol di antara faktor-faktor ini adalah keberhasilan yang sangat mengagumkan dari teologi Asy’ari (yang merendahkan manusia ke tingkat impotensi untuk memertahankan konsep ke-Mahakuasaan Allah, namun pengaruhnya terhadap kaum Muslimin lebih bersifat formal daripada riil), dan penyebaran doktrin-doktrin sufisme yang pantheistik serta fatalistik.”[18] Oleh karena pengaruh inilah konsep Alquran tentang qadar (takdir) ditafsirkan sebagai predeterminisasi Allah terhadap segala sesuatu, termasuk manusia.
Dengan mengembalikan gagasan takdir seperti yang tertuang dalam Alquran, maka aspek ikhtiar manusia menjadi sangat penting dalam pemikiran Rahman. Manusia-lah yang aktif berusaha dan keberhasilan-nyapun ditentukan sejauhmana ia telah memberikan investasi. Meskipun pandangan Rahman tentang aspek ikhtiar manusia demikian tegas, namun ia tetap mengakui fungsi do’a. Baginya, do’a adalah sikap pikir yang aktif dan reseptif untuk meminta pertolongan dari sumber kehidupan, dan lewat inilah mengalir energi-energi baru. Menurut Rahman, yang perlu dicamkan bahwa harus ada kerja keras atau usaha yang sungguh-sungguh secara konsisten dari pihak yang berdo’a. Hanya dalam konteks kerja keras itulah do’a memiliki arti dan makna.
Dengan demikian, do’a merupakan manifestasi dari keterhinggaan manusia. Walaupun manusia bebas menentukan pilihannya, bukan berarti tidak tergantung pada Sang Pencipta. Manusia memiliki kecenderungan baik dan kecenderungan jahat. Oleh karena itu, di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kecenderungan-kecenderungan itu.

baca kelanjutan makalah dan lampiran pustaka di: ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 3




[1] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Pustaka, Bandung, 1984. hal. 86
[2] Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1984, h. 87
[3] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an... h. 88.
[4] Ibid., h. 97-98.
[5] Lihat, Poerwantara Dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 145.
[6] Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: antara filsafat dan ortodoksi, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003), h. 40
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 31-32
[8] , Poerwantana Dkk, Seluk Beluk, h. 133.
[9] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar dan Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 61.
[10] Muhammad Al-Bahy, Al-Fikr al-Islamy fi Tathawwurihi, alih bahasa Al-Yasa’ Abu Bakar, Alam Pikiran Islam dan Perkembangan (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 27
[11] M. Sholihin & Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 53. Lihat juga Charles Issawi, An Arab Philosophy of History, Ali Bahsa Mukti Ali, Filsafat Islam tentang Sejarah (Bandung: Tintamas; 1967), h. 2.
[12] Q.S. An-Nahl/16: 102
[13] QS. An-Nahl/16: 2.
[14] Amal, Taufik Adnan (peny.), Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung:Mizan, 1987, h. 80.
[15] Taufik Adnan Amal,  Metode dan Alternatif....., h. 75.
[16] Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia Press, 1999, h. 145-146.
[17] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996, h. 97-98
[18] Ibid.,  h. 35

Related Posts:

0 Response to "ISLAM DALAM KONSEP FAZLUR RAHMAN Bag. 2 (makalah lengkap)"